WARO

Yang dimaksud wara’ menurut Sahal bin AbduLlah adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (Syubhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Sedangkan menurut As-Syibli, wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.

Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak. Sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu engkau dapat mengumpulkan keduanya dalam meraih kepemimpinan.

Menurut Abu Sulaiman Ad-Daraani, wara’ merupakan permulaan zuhud sedangkan qana’ah merupakan akhir keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut kepada hisab (perhitungan amal).

Dikisahkan suatu hari AbduLlah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sebuah sumur yang kotor. Setelah menyebut nama Allah, dia dapat keluar dari sumur tersebut. “Menyebut nama Allah dengan harap dan cemas adalah bagian dari wara’”.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’ bathin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Barang siapa yang belum merasakan lezatnya wara’ dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT. Mereka yang pandangan keagamaannya bagus, kelak ditinggikan derajatnya oleh Allah di hari kiyamat”.

Ma’ruf Al-Kharqi berucap, sikap wara’ termasuk menjaga diri dari perbuatan tercela, juga menjaga diri dari pujian.

Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat. Tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga ia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Sedangkan sahabat Bishri Al-Maafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan tersebut diletakkan di dhadapannya. Namun ketika ia mengulurkan tangannya ternyata tangannya tidak bisa digerakkan. Itu diulanginya sampai tiga kali, tetapi tidak bisa juga. Sesungguhnya tangannya tidak bisa diulurkan pada makanan yang syubhat.

Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Hasan Al-Bashri bertanya kepada putera ‘Ali RA, “Apakah kebesaran agama ?” Dia menjawab sikap ‘Wara’’. Kemudian ditanyakan lagi, “Apa penyakit agama ?” Dia menjawab ‘Tamak’.

Hasan bin Sinan belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu”. Dia menjawab, “Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan.”

Begitulah sikap wara’ para sufi zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT. Ada tiga macam wara’. Pertama wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalalannya. Kedua wara’ Muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung syubhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang –boleh jadi- halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan / baik untuk badan (thayib).

Salah satu sikap mulia yang dimiliki Sahal bin AbduLlah disamping wara’ adalah zuhud terhadap dunia. Dalam arti umum adalah tidak mencintai sesuatu, tidak tertarik atau terpikat olehnya. Dalam kajian tasawuf, kata zuhud biasanya dikaitkan dengan kesenangan duniawi. Zuhud terhadap dunia berarti tidak tertarik, tidak tergiur dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi.

Sikap zuhud terhadap dunia itu berakar dari penilaian bahwa dunia dengan segala kesenangannya adalah lebih rendah nilainya daripada akhirat. Jadi pada sikap zuhud itu tersirat sikap lebih mencintai atau tertarik kepada akhirat atau kepada Tuhan Yang Maha Baik.

Maka zuhud sebenarnya tidak pernah muncul di dalam Al-Qur’an kecuali hanya sekali saja dalam bentuj zahidiin (QS 12, : 20). Akhirat jauh lebih baik bagi para pelaku zuhud karena kenikmatan yang jauh lebih kekal jika dibandingkan dunia.

Esensi zuhud itu juga dapat dilihat dari perikehidupan RasuluLlah SAW dan para sahabat yang hidup dengan penuh kesederhanaan baik dalam hal makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. RasuluLlah SAW sering melakukan puasa, sering mengalami lapar, menghentikann makan sebelum kenyang, setiap malam bangun untuk beribadah, melakukan munajat dan tafakur. RasuluLlah SAW tidak pernah menyimpan harta apaalgi sampai menumpuknya, dan tidak ada harta yang dapat beliau wariskan. Para sahabatpun mengikuti pola sederhana yang dicontohkan RasuluLlah SAW. Mereka meskipun sebagian tergolong berharta, tetap zuhud terhadap harta yang mereka miliki. Mereka siap menyarahkan hartanya sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau untuk jihad di jalan Allah. Hati mereka tidak tergiur oleh harta yang mereka miliki.

Zuhud dalam kajian tasawuf dipandang sebagai salah satu maqam bagi calon sufi dalam perjalanan ruhaniah mencapai tujuan menjadi sufi. Kedudukan seorang zahid setingkat di bawah sufi, dan seorang sufi pasti seorang zahid. Zahid yang berhasil menjadi sufi adalah yang telah berhasil mencapai makrifat.

Seperti yang lain, zahid juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ada tingkatan zuhud terhadap segala yang haram menurut norma syari’at, ada tingkatan zuhud yang lebih tinggi, yaitu zuhud terhadap hal yang diragukan kehalalannya. Zuhud yang diusahakan calon sufi adalah zuhud tingkat tertinggi yaitu zuhud terhadap dunia materi dan apa yang dibutuhkan oleh jasmani meskipun halal menurut norma syari’at. Hanya saja tingkat tersebut dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tulus serta kecintaan yang tinggi kepada Allah SWT.
 
::: Template e Layout by Blografando ::: Distribuito da Adelebox :::